16 November 2009

tumbuh atas nama teori

Tuhan jika rasa ini bukan rasa untuknya lalu untuk siapa semua rasa ini?

Saat teori berteori dengan dahsyatnya seketika itu juga hati bergejolak berperang dengan sesuatu yang tidak bisa di jelaskan,
Pengertian sudah benar-benar tidak bisa di mengerti,hampir tidak ada halangan sama sekali untuk mendapatkan dia dan bersamanya.
Ketika segala mimpi yang ada hanyalah untuk dia dan dia lagi-lagi dia, ketika mata ini di buka lagi-lagi memeikirkan rasa ini.
Tuhan, saya harus berbuat apa? ini sudah melebihi waktu yang saya punya.

Saya hampir menjadi seorang individualis atas segala kesempurnaan yang saya punya, dan bersama dia saya merasakan hidup.
Beribu-ribu surat cinta sudah saya kirimkan dan beribu-ribu balasan kosong karena saya tidak mengirim untuknya, saya kirim untuk kamu.
Segala permainan indah di dunia, dia tetap di samping saya. Tapi saya terus melangkah mundur.
Atas dasar logika saya melangkah mundur dengan rapihnya.

Bukan waktu singkat yang saya punya bersama dia, tapi izin yang singkat yang saya punya bersama dia.
Kebodohan masih menyelimuti kepala saya, saya sebut kebodohan bukan karena saya bodoh tapi karena saya terlalu pintar.
Terlalu pintar untuk menjadi seorang wanita, bahkan di usia saya sekarang ini saya sudah tumbuh
Menjadi wanita yang terlalu pintar.

Terus memutar segala rasa ini, izinkan saya merasakan kesempurnaan sebuah pelangi Tuhan
Bersamanya atau tidak bersamanya..
Saya disini dengan kebodohan rasa untuk kamu dan untuk sebuah pengakuan bodoh.